My Story
Jumat, 14 Oktober 2016
Terjemahan : Hills
Like White Elephants
Bukit-bukit Seperti
Gajah Putih
By : Ernest
Hemingway
Bukit-bukit
sepanjang lembah Ebro begitu panjang dan putih. Di sisinya tak ada bayangan
teduh ataupun pohon, sementara stasiun kereta berada di antara dua garis rel
dalam terik matahari. Di dekat sisi stasiun ada bayangan hangat sebuah bangunan
dan sebuah tirai, terbuat dari untaian manik-manik bambu, digantungkan di depan
pintu bar untuk menghalau lalat masuk. Seorang lelaki Amerika dan seorang gadis
yang ikut dengannya duduk di sisi meja makan yang teduh, di luar bangunan bar.
Udara sangat panas saat itu dan kereta ekspres dari Barcelona akan datang dalam
empat puluh menit. Kereta itu akan berhenti di persinggahan ini untuk dua menit
lalu pergi ke Madrid.
“Kita mau minum
apa?” tanya si gadis. Dia melepas topinya dan menaruhnya di atas meja.
“Disini sangat
panas,” ucap si lelaki.
“Ayo minum bir.”
“Dos cervezas,”
pinta si lelaki ke arah tirai.
“Yang besar?”
seorang wanita bertanya dari ambang pintu.
“Ya. Dua yang
besar.”
Si pelayan wanita
membawa dua gelas bir dan dua alas serbet. Dia menaruh alas serbet dan gelas
bir di atas meja lalu melihat sekilas ke arah si lelaki dan si gadis. Si gadis
tengah memandang barisan bukit-bukit. Mereka tampak begitu putih di bawah sinar
matahari dan daerah ini begitu cokelat dan kering.
“Mereka terlihat
seperti gajah putih ya,” ucapnya.
“Aku belum pernah
melihatnya,” si lelaki meminum birnya.
“Tidak, kau tak
akan dapat melihatnya,”
“Mungkin saja aku
dapat melihatnya,” si lelaki berujar. “Kau tak dapat membuktikan apapun hanya
dengan berkata aku tak dapat melihatnya.”
Si gadis melihat ke
arah manik-manik tirai. “Mereka mencat sesuatu di permukaannya,” ucapnya. “Apa
katanya?”
“Anis del Toro. Itu
sebuah minuman.”
“Bisakah kita
mencobanya?”
Si lelaki bersahut
‘dengar’ melewati tirai. Seorang wanita keluar dari bar.
“Empat real.”
“Kami mau dua Anis
del Toro.”
“Dengan air?”
“Kau mau dicampur
air?”
“Aku tidak tahu,”
ucap si gadis. “Memang enak dicampur air?”
“Lumayanlah.”
“Anda ingin
minumannya dicampur air?” tanya si wanita bar.
“Ya, dengan air.”
“…Rasanya manis
seperti liquorice,” ucap si gadis lalu meletakan gelasnya.
“Memang seperti
itulah rasanya.”
“Ya,” ucap si
gadis. “Semuanya terasa seperti liquorice. Kecuali segala yang kau inginkan
selama ini, pahit seperti absinthe.”
“Oh, sudahlah.
Jangan mulai.”
“Kau yang
memulainya,” ucap si gadis. “Aku terhibur ko’. Aku bersenang-senang.”
“Baik kalo begitu,
ayo kita coba bersenang-senang.”
“Baik. Aku sedang
mencobanya. Aku bilang bukit-bukit terlihat seperti gajah putih. Bukankah
mereka begitu menyilaukan?”
“Ya, mereka memang
menyilaukan.”
“…Aku ingin mencoba
minuman baru. Itu kan’ yang kita lakukan selama ini, melihat-lihat sesuatu lalu
mencoba minuman baru?”
“Aku rasa begitu.”
Si gadis memandangi
bukit-bukit lagi.
“Mereka bukit yang
cantik,” ujarnya. “Mereka tidak benar-benar terlihat seperti gajah putih.
Maksudku adalah warna kulit gajah putih mirip dengan warna di pohon-pohon bukit
itu.”
“Bisakah kita
memesan minuman lain?”
“Baiklah.”
Angin yang hangat
meniup manik-manik tirai ke arah meja.
“Birnya enak dan
dingin,” ucap si lelaki.
“Sungguh
menyilaukan,” ucap si gadis.
“Ini hanya operasi
yang benar-benar simpel, Jig,” si lelaki berkata. “Ini bahkan bukan operasi
yang sesungguhnya.”
Si gadis memandang
lantai dimana kaki meja terletak.
“Aku tahu kau akan
setuju, Jig. Sungguh ini bukanlah apa-apa. Hanya membiarkan udara masuk ke
dalam saja.”
Si gadis tak
berkata apapun.
“Aku akan pergi
bersamamu dan selalu ada disisimu sepanjang waktu. Mereka hanya membiarkan
udara masuk lalu semua akan terjadi secara alami.”
“Setelah itu apa
yang akan kita lakukan?”
“Kita akan
baik-baik saja. Sepeti hubungan kita dulu.”
“Apa yang membuatmu
berpikir seperti itu?”
“Hal itu
satu-satunya yang menganggu kita. Hal itu satu-satunya yang membuat kita
menjadi tak bahagia.”
Si gadis memandang
manik-manik tirai, menyodorkan tangannya dan menggengam dua jalinan
manik-manik.
“Dan kau berpikir
kita akan baik-baik saja dan bahagia setelah ini.”
“Aku tahu kita akan
bahagia. Kau tidak usah ragu. Aku kenal banyak orang yang sudah melakukannya.”
“Begitupun juga
aku,” ucap si gadis. “dan setelah itu mereka memang begitu bahagia.”
“Oke,” ucap si
lelaki, “Jika kau tak ingin melakukannya maka jangan. Aku tidak akan memaksamu
untuk melakukannya jika kau tak ingin. Tapi aku tahu hal itu benar-benar
simpel.”
“Dan kau
benar-benar ingin aku melakukannya?”
“Aku pikir ini
adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan. Tapi aku tak akan memaksamu untuk
melakukannya jika kau benar-benar tak ingin melakukannya. Aku mencintaimu
sekarang. Kau tahu, aku mencintaimu.”
“Aku tahu. Tapi
jika aku melakukannya, maka apakah akan baik-baik saja jika aku mengatakan
sesuatu seperti gajah putih? apakah kau akan menyukainya?”
“Aku akan
menyukainya. Sekarang pun aku menyukainya namun aku tak dapat memikirkan
maksudnya. Kau tahu seperti apa aku jika sedang khawatir.”
“Jika aku
melakukannya, apa kau tidak akan khawatir?”
“Aku tidak akan
mengkhawatirkannya karena itu cuma hal yang simpel.”
“Kalau begitu aku
akan melakukannya. Karena aku sudah tak peduli lagi dengan diriku sendiri.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tak peduli
dengan diriku sendiri.”
“Tapi aku
mempedulikanmu.”
“Oh, iya. Tapi aku
tak peduli dengan diriku. Aku akan melakukannya lalu semua akan baik-baik
saja.”
“Aku tidak ingin
kau melakukannya jika merasa seperti itu.”
Si gadis berdiri
dan berjalan ke ujung stasiun. Arah seberang, di sisi lain, adalah ladang
gandum dan pepohonan yang berbaris sepanjang tepian sungai Ebro. Jauh sekali,
melintasi sungai, adalah pegunungan. Bayangan sebuah awan bergerak melintasi
ladang gandum dan gadis itu melihat sungai melalui celah-celah pohon.
“Dan kita dapat
memiliki semua ini,” ucapnya. “Dan kita dapat memiliki segalanya dan setiap
hari kita malah membuatnya kian mustahil.”
“Apa kau bilang?”
“Aku bilang kita
dapat memiliki segalanya.”
“Tidak, kita tidak
bisa.”
“Kita dapat
memiliki seluruh dunia.”
“Tidak, kita tidak
bisa.”
“Kita bisa pergi
kemanapun.”
“Tidak, kita tidak
bisa. Dia bukan milik kita lagi.”
“Dia milik kita.”
“Bukan, dia bukan
milik kita. Dan setelah mereka merenggutnya, kau tidak akan mendapatkannya
kembali.”
“Tapi mereka belum
merenggutnya.”
“Kita tunggu dan
lihat saja. Kembalilah ke tempat yang teduh,” ucap si lelaki. “kau tidak
seharusnya merasa seperti itu.”
“Aku tidak
merasakan apapun ko’,” jawab si gadis. “Aku hanya memahami beberapa hal.”
“Aku tidak ingin
kau melakukan apapun yang tidak ingin kau lakukan-“
“Itupun tak baik
untukku,” ucap si gadis. “Aku tahu. Dapatkah kita memesan bir lain?”
“Baiklah. Tapi kau
harus menyadarinya-“
“Aku menyadarinya,”
si gadis berkata. “Mungkinkah kita berhenti berbicara?”
Mereka duduk di
depan meja dan si gadis memandangi bukit-bukit di sisi kering lembah dan si
lelaki memandangi dirinya lalu memandang meja.
“Kau harus
menyadarinya,” ucap si lelaki, ”bahwa aku tidak ingin kau melakukannya jika
memang tak ingin melakukannya. Aku akan berusaha untuk menempuh apa yang akan
terjadi jika dia berarti bagimu.”
“Apakah dia berarti
bagimu? Kita bisa hidup bersama.”
“Tentu saja dia
berarti. Tapi aku tak ingin siapapun kecuali dirimu. Aku tidak ingin gadis
lain. Dan aku tahu prosesnya benar-benar simpel.”
“Ya, kau merasa
tahu itu benar-benar simpel.”
“Boleh saja kau mengatakan
itu, tapi aku benar-benar tahu.”
“Bisakah kau
melakukan sesuatu untukku sekarang?”
“Aku akan melakukan
apapun untukmu.”
“Bisakah kau please
please please please please please please please please please please berhenti berbicara?”
Dia tidak berbicara
apapun dan mengalihkan pandangannya pada koper-koper yang bersender di dinding
stasiun. Terdapat label stiker dari semua hotel dimana mereka pernah
menghabiskan malam bersama.
“Tapi aku tak ingin
kau melakukannya,” ucap si lelaki, ”aku akan mencoba untuk tidak membahasnya,”
“Aku akan berteriak
jika kau berbicara lagi,” ucap si gadis.
Si wanita pelayan
muncul melalui tirai dengan dua gelas bir dan menaruh mereka di atas alas
serbet yang basah. “Kereta datang dalam lima menit,” ucapnya.
“Dia bilang apa?”
tanya si gadis.
“Kereta akan datang
lima menit lagi.”
Si gadis tersenyum
cerah pada si wanita, untuk berterima kasih padanya.
“Lebih baik aku
bawa koper-kopernya ke sisi lain stasiun,” ucap si lelaki. Si gadis tersenyum
kepadanya.
“Baiklah. Setelah
itu kembali dan kita akan menghabiskan birnya.”
Ia menjinjing dua
koper berat dan membawanya mengitari stasiun ke jalur rel yang lain. Ia
memandang jauh ke ujung jalur rel namun tak dapat melihat keretanya.
Sekembalinya, ia berjalan melintasi ruang bar, dimana orang-orang yang sedang
menunggu kereta tengah minum-minum. Dia minum segelas Anis di bar dan melihat
orang-orang. Mereka semua menunggu kereta dengan wajar. Ia pergi keluar
melewati tirai manik-manik. Gadis itu duduk di depan meja dan tersenyum
kepadanya.
“Kau merasa lebih
baik?” tanya si lelaki.
“Aku merasa
baik-baik saja,” jawab si gadis. “Tidak ada yang salah dengan diriku. Aku
merasa baik-baik saja.”
Langganan:
Postingan (Atom)