Jumat, 14 Oktober 2016

Basa-basi ^^


Hai, hai 
Wah, akhirnya aku buat blog, nih. 
Udah lama sih pengen buat tapi baru kali ini kesampaian.

Sebenarnya, aku udah punya blog.
Tapi, udah 'jamuran' dan aku juga pengen ganti suasana baru. 

Udah dulu yeee........
Baterai notebookku udah sekarat, nih. :D 
ok???? Bye!!!! :D  




Terjemahan : Hills Like White Elephants
Bukit-bukit Seperti Gajah Putih

By : Ernest Hemingway

Bukit-bukit sepanjang lembah Ebro begitu panjang dan putih. Di sisinya tak ada bayangan teduh ataupun pohon, sementara stasiun kereta berada di antara dua garis rel dalam terik matahari. Di dekat sisi stasiun ada bayangan hangat sebuah bangunan dan sebuah tirai, terbuat dari untaian manik-manik bambu, digantungkan di depan pintu bar untuk menghalau lalat masuk. Seorang lelaki Amerika dan seorang gadis yang ikut dengannya duduk di sisi meja makan yang teduh, di luar bangunan bar. Udara sangat panas saat itu dan kereta ekspres dari Barcelona akan datang dalam empat puluh menit. Kereta itu akan berhenti di persinggahan ini untuk dua menit lalu pergi ke Madrid.

“Kita mau minum apa?” tanya si gadis. Dia melepas topinya dan menaruhnya di atas meja.

“Disini sangat panas,” ucap si lelaki.

“Ayo minum bir.”

“Dos cervezas,” pinta si lelaki ke arah tirai.

“Yang besar?” seorang wanita bertanya dari ambang pintu.

“Ya. Dua yang besar.”

Si pelayan wanita membawa dua gelas bir dan dua alas serbet. Dia menaruh alas serbet dan gelas bir di atas meja lalu melihat sekilas ke arah si lelaki dan si gadis. Si gadis tengah memandang barisan bukit-bukit. Mereka tampak begitu putih di bawah sinar matahari dan daerah ini begitu cokelat dan kering.

“Mereka terlihat seperti gajah putih ya,” ucapnya.

“Aku belum pernah melihatnya,” si lelaki meminum birnya.

“Tidak, kau tak akan dapat melihatnya,”

“Mungkin saja aku dapat melihatnya,” si lelaki berujar. “Kau tak dapat membuktikan apapun hanya dengan berkata aku tak dapat melihatnya.”

Si gadis melihat ke arah manik-manik tirai. “Mereka mencat sesuatu di permukaannya,” ucapnya. “Apa katanya?”

“Anis del Toro. Itu sebuah minuman.”

“Bisakah kita mencobanya?”

Si lelaki bersahut ‘dengar’ melewati tirai. Seorang wanita keluar dari bar.

“Empat real.”

“Kami mau dua Anis del Toro.”

“Dengan air?”

“Kau mau dicampur air?”

“Aku tidak tahu,” ucap si gadis. “Memang enak dicampur air?”

“Lumayanlah.”

“Anda ingin minumannya dicampur air?” tanya si wanita bar.

“Ya, dengan air.”

“…Rasanya manis seperti liquorice,” ucap si gadis lalu meletakan gelasnya.

“Memang seperti itulah rasanya.”

“Ya,” ucap si gadis. “Semuanya terasa seperti liquorice. Kecuali segala yang kau inginkan selama ini, pahit seperti absinthe.”

“Oh, sudahlah. Jangan mulai.”

“Kau yang memulainya,” ucap si gadis. “Aku terhibur ko’. Aku bersenang-senang.”

“Baik kalo begitu, ayo kita coba bersenang-senang.”

“Baik. Aku sedang mencobanya. Aku bilang bukit-bukit terlihat seperti gajah putih. Bukankah mereka begitu menyilaukan?”

“Ya, mereka memang menyilaukan.”

“…Aku ingin mencoba minuman baru. Itu kan’ yang kita lakukan selama ini, melihat-lihat sesuatu lalu mencoba minuman baru?”

“Aku rasa begitu.”

Si gadis memandangi bukit-bukit lagi.

“Mereka bukit yang cantik,” ujarnya. “Mereka tidak benar-benar terlihat seperti gajah putih. Maksudku adalah warna kulit gajah putih mirip dengan warna di pohon-pohon bukit itu.”

“Bisakah kita memesan minuman lain?”

“Baiklah.”

Angin yang hangat meniup manik-manik tirai ke arah meja.

“Birnya enak dan dingin,” ucap si lelaki.

“Sungguh menyilaukan,” ucap si gadis.

“Ini hanya operasi yang benar-benar simpel, Jig,” si lelaki berkata. “Ini bahkan bukan operasi yang sesungguhnya.”

Si gadis memandang lantai dimana kaki meja terletak.

“Aku tahu kau akan setuju, Jig. Sungguh ini bukanlah apa-apa. Hanya membiarkan udara masuk ke dalam saja.”

Si gadis tak berkata apapun.

“Aku akan pergi bersamamu dan selalu ada disisimu sepanjang waktu. Mereka hanya membiarkan udara masuk lalu semua akan terjadi secara alami.”

“Setelah itu apa yang akan kita lakukan?”

“Kita akan baik-baik saja. Sepeti hubungan kita dulu.”

“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”

“Hal itu satu-satunya yang menganggu kita. Hal itu satu-satunya yang membuat kita menjadi tak bahagia.”

Si gadis memandang manik-manik tirai, menyodorkan tangannya dan menggengam dua jalinan manik-manik.

“Dan kau berpikir kita akan baik-baik saja dan bahagia setelah ini.”

“Aku tahu kita akan bahagia. Kau tidak usah ragu. Aku kenal banyak orang yang sudah melakukannya.”

“Begitupun juga aku,” ucap si gadis. “dan setelah itu mereka memang begitu bahagia.”

“Oke,” ucap si lelaki, “Jika kau tak ingin melakukannya maka jangan. Aku tidak akan memaksamu untuk melakukannya jika kau tak ingin. Tapi aku tahu hal itu benar-benar simpel.”

“Dan kau benar-benar ingin aku melakukannya?”

“Aku pikir ini adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan. Tapi aku tak akan memaksamu untuk melakukannya jika kau benar-benar tak ingin melakukannya. Aku mencintaimu sekarang. Kau tahu, aku mencintaimu.”

“Aku tahu. Tapi jika aku melakukannya, maka apakah akan baik-baik saja jika aku mengatakan sesuatu seperti gajah putih? apakah kau akan menyukainya?”

“Aku akan menyukainya. Sekarang pun aku menyukainya namun aku tak dapat memikirkan maksudnya. Kau tahu seperti apa aku jika sedang khawatir.”

“Jika aku melakukannya, apa kau tidak akan khawatir?”

“Aku tidak akan mengkhawatirkannya karena itu cuma hal yang simpel.”

“Kalau begitu aku akan melakukannya. Karena aku sudah tak peduli lagi dengan diriku sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tak peduli dengan diriku sendiri.”

“Tapi aku mempedulikanmu.”

“Oh, iya. Tapi aku tak peduli dengan diriku. Aku akan melakukannya lalu semua akan baik-baik saja.”

“Aku tidak ingin kau melakukannya jika merasa seperti itu.”

Si gadis berdiri dan berjalan ke ujung stasiun. Arah seberang, di sisi lain, adalah ladang gandum dan pepohonan yang berbaris sepanjang tepian sungai Ebro. Jauh sekali, melintasi sungai, adalah pegunungan. Bayangan sebuah awan bergerak melintasi ladang gandum dan gadis itu melihat sungai melalui celah-celah pohon.

“Dan kita dapat memiliki semua ini,” ucapnya. “Dan kita dapat memiliki segalanya dan setiap hari kita malah membuatnya kian mustahil.”

“Apa kau bilang?”

“Aku bilang kita dapat memiliki segalanya.”

“Tidak, kita tidak bisa.”

“Kita dapat memiliki seluruh dunia.”

“Tidak, kita tidak bisa.”

“Kita bisa pergi kemanapun.”

“Tidak, kita tidak bisa. Dia bukan milik kita lagi.”

“Dia milik kita.”

“Bukan, dia bukan milik kita. Dan setelah mereka merenggutnya, kau tidak akan mendapatkannya kembali.”

“Tapi mereka belum merenggutnya.”

“Kita tunggu dan lihat saja. Kembalilah ke tempat yang teduh,” ucap si lelaki. “kau tidak seharusnya merasa seperti itu.”

“Aku tidak merasakan apapun ko’,” jawab si gadis. “Aku hanya memahami beberapa hal.”

“Aku tidak ingin kau melakukan apapun yang tidak ingin kau lakukan-“

“Itupun tak baik untukku,” ucap si gadis. “Aku tahu. Dapatkah kita memesan bir lain?”

“Baiklah. Tapi kau harus menyadarinya-“

“Aku menyadarinya,” si gadis berkata. “Mungkinkah kita berhenti berbicara?”

Mereka duduk di depan meja dan si gadis memandangi bukit-bukit di sisi kering lembah dan si lelaki memandangi dirinya lalu memandang meja.

“Kau harus menyadarinya,” ucap si lelaki, ”bahwa aku tidak ingin kau melakukannya jika memang tak ingin melakukannya. Aku akan berusaha untuk menempuh apa yang akan terjadi jika dia berarti bagimu.”

“Apakah dia berarti bagimu? Kita bisa hidup bersama.”

“Tentu saja dia berarti. Tapi aku tak ingin siapapun kecuali dirimu. Aku tidak ingin gadis lain. Dan aku tahu prosesnya benar-benar simpel.”

“Ya, kau merasa tahu itu benar-benar simpel.”

“Boleh saja kau mengatakan itu, tapi aku benar-benar tahu.”

“Bisakah kau melakukan sesuatu untukku sekarang?”

“Aku akan melakukan apapun untukmu.”

“Bisakah kau please please please please please please please please please  please please berhenti berbicara?”

Dia tidak berbicara apapun dan mengalihkan pandangannya pada koper-koper yang bersender di dinding stasiun. Terdapat label stiker dari semua hotel dimana mereka pernah menghabiskan malam bersama.

“Tapi aku tak ingin kau melakukannya,” ucap si lelaki, ”aku akan mencoba untuk tidak membahasnya,”

“Aku akan berteriak jika kau berbicara lagi,” ucap si gadis.

Si wanita pelayan muncul melalui tirai dengan dua gelas bir dan menaruh mereka di atas alas serbet yang basah. “Kereta datang dalam lima menit,” ucapnya.

“Dia bilang apa?” tanya si gadis.

“Kereta akan datang lima menit lagi.”

Si gadis tersenyum cerah pada si wanita, untuk berterima kasih padanya.

“Lebih baik aku bawa koper-kopernya ke sisi lain stasiun,” ucap si lelaki. Si gadis tersenyum kepadanya.

“Baiklah. Setelah itu kembali dan kita akan menghabiskan birnya.”

Ia menjinjing dua koper berat dan membawanya mengitari stasiun ke jalur rel yang lain. Ia memandang jauh ke ujung jalur rel namun tak dapat melihat keretanya. Sekembalinya, ia berjalan melintasi ruang bar, dimana orang-orang yang sedang menunggu kereta tengah minum-minum. Dia minum segelas Anis di bar dan melihat orang-orang. Mereka semua menunggu kereta dengan wajar. Ia pergi keluar melewati tirai manik-manik. Gadis itu duduk di depan meja dan tersenyum kepadanya.

“Kau merasa lebih baik?” tanya si lelaki.


“Aku merasa baik-baik saja,” jawab si gadis. “Tidak ada yang salah dengan diriku. Aku merasa baik-baik saja.”